“Kalau menuduh itu mananya suudzon, namun jika melihat reaksi yang
sekarang (aksi penolakan) patut dipertanyakan,” ujar Taufik Nuriman usai
melakukan audiensi dengan warga Pulo Panjang yang melakukan aksi
penolakan penambangan pasir laut, Kamis (15/3/2012).
Taufik Nuriman mengatakan, dirinya pernah berkunjung ke Pulo Panjang.
Warga Pulo Panjang menerima adanya penambangan pasir laut itu. “Warga
disana malah berterimaksih, karena dengan adanya penambangan itu warga
pun ikut menikmati hasilnya,” tuturnya.
Taufik Nuriman juga mengatakan untuk menghentikan penambangan pasir
sangat kecil dilakukan. Karena pada dasarnya kegiatan penambangan
tersebut juga untuk mensejahterakan rakyat. “Apa salahnya memanfaatkan
pasir yang ada, karena disitu ada nilai uang yang kemudian bisa
digunakan untuk memperbaiki infrastruktur,” kata Bupati.
Meski demikian, Taufik juga menegaskan akan menegur perusahaan
penambang pasir jika peraturan jarak yang telah ditetapkan tidak
ditepati, yaitu melakukan aktifitas penyedotan dengan jarak kurang dari
20 mil dari bibir pantai. “Ada Balai Lingkungan Hidup dan Dinas Kelautan
yang mengawasi hal ini,” pungkasnya.
Sebelumnya, masyarakat Pulo Panjang diminta untuk menutup penambangan
pasir, karena akibat yang ditimbulkan dari penambangan tersebut hanya
menyengsarakan rakyat dan merusak ekosistem laut.
Ketua front kebangkitan petani dan nelayan Pontang-Tirtayasa (FKPN
Pontirta) Kabupaten Serang Supiyadi mengatakan, penambangan pasir yang
dilakukan oleh PT Jetstar di pantai utara Banten khususnya di dekat
dengan Pulo Panjang mengakibatkan para nelayan kesulitan untuk mendapat
ikan.
“Selain menyengsarakan nelayan, penambangan pasir juga merusak
ekosistem laut,” ujar Supiyadi, di sela-sela orasi, di depan kantor
bupati Serang, Kamis (15/3).
Supiyadi juga menegaskan, warga Pulo Panjang telah menolak keras jika
Pemerintah Kabupaten Serang memeberikan kompensasi kepada warga sebagai
ganti rugi kerusakan ekosistem laut. “Nelayan yang dulunya sangat mudah
mendapatkan ikan, setelah ada penambangan pasir laut ikan di pantai
utara sangat sulit didapatkan oleh nelayan,” paparnya.
Dalam kesempatan tersebut, ia juga memberikan ultimatum kepada
bupati, jika dalam jangka waktu maksimal 3x24 jam terhitung 15 Maret
tunttutan tersebut tidak dipenuhi, maka pihaknya akan melakukan
pemberhentian penambangan pasir laut dengan caranya sendiri. “Kami tidak
akan pernah membiarkan kapal-kapal pengangkut pasir itu bebas lalu
lalang di daerah kami,” tegasnya.
Tya, 37, salah seorang warga Pulo Panjang menambahkan, akibat dari
penambangan pasir tersebut sebenarnya telah dirasakan sejak 2004 silam.
Namun saat itu warga tidak mempunyai keberanian untuk menolak, baru saat
ini setelah penambangan pasir itu merajalela di wilayahnya, warga baru
menetukan sikap.
“Salah satu dampak yangkami raskan adalah air sumur yangmenajdi asin,
sehingga kami terpaksa beli air mineral dari warung. Tapi bagi kami
rakyat kecil, untuk membeli air bersih itu sangat sulit,” paparnya.
Dampak lain dari adanya aktifitas penambangan pasir itu, lanjut Tya,
yakni ikan-ikan makin sulit didapat. Padahal, mayoritas pendudukan di
Pulo Panjang bermata pencarian sebagai nelayan. “Jika dalam jangka tiga
bulan penambangan pasir itu tetap jalan, mungkin saat itu kami sudah
mati kelaparan,” ujar dia.
Sekira pukul 11.00 WIB, atau satu jam setelah mereka melakukan orasi,
akhirnya warga diminta untuk beraudiensi dengan Bupati Serang. Namun,
dalam audiensi antara warga dengan Bupati Serang yang memakan waktu satu
jam itu, warga tidak mendapatkan penyelesaian yang jelas.
Hal itu diungkapkan Kabid Sumberdaya
Kelautan DKP Banten, H. Mahyudin. Menurutnya, lahan Balai Pelabuhan
Perikanan Pantai (BPPP) memiliki luas mencapai 4 hektar lebih.
Namun, area pelabuhan tersebut juga
dihuni oleh 840 kepala keluarga (KK), sehingga untuk meningkatkan status
BPPP menjadi PPP, pemerintah harus melakukan relokasi penduduk terlebih
dahulu, padahal dahulu penduduk yang menghuni cuma 400 Kepala keluarga.
“Pembangunan PPP tersebut mengalami
kendala, lantaran warga yang berprofesi nelayan tinggal di area
pelabuhan sejak pemerintahan Jawa Barat (Jabar) belum mau direlokasi,”
kata H. Mahyudin, saat acara kunjungan Wakil Gubernur Banten, Rano Karno,
di Balai Pelabuan Perikanan Pantai Labuan, Pandeglang, Jumat (16/3).
Ia menjelaskan, dahulu jumlah penduduk
yang tinggal di area pelabuhan tersebut sekitar 400 kepala keluarga.
Namun saat ini jumlah penduduk yang tinggal di area pelabuhan meningkat
dua kali lipat mencapai 840 kepala keluarga.
Hal senada disampaikan Kepala DKP
Banten, Ir.H. Suyitno.MM Menurutnya, DKP Banten telah menyiapkan lahan seluas
2,7 hektar untuk area relokasi warga. Namun sampai saat ini, baru 13
kepala keluarga yang sudah pindah ke area tersebut.
Ia mengaku, warga yang tinggal di area
pelabuhan sulit pindah ke lokasi baru, karena keterbatasan anggaran
warga yang tidak sanggup untuk membangun rumah. Sedangkan anggaran
pemerintah untuk membangun rumah-rumah untuk relokasi itu terbatas.
Kepala DKP menjelaskan, Pemprov Banten
telah mengusulkan bantuan APBN ke Pemerintah Pusat melalui Kementerian
Kelautan dan Perikanan sebesar Rp100 miliar.
Dana tersebut akan digunakan untuk
membangun pelabuhan perikanan pantai dan melengkapi fasilitas yang lain,
di antaranya untuk membangun dermaga, pabrik es, dermaga docking
(perbaikan) kapal, pasar ikan dan wisata bahari.
“Namun, pemerintah belum mau mengucurkan
dana itu jika masih ada warga nelayan yang masih tinggal di area
pelabuhan. Inilah yang menjadi kendala mengapa program pembangunan
Pelabuhan Perikanan Pantai Labuan belum terbangun,” katanya.
Menanggapi hal tersebut, Rano Karno
meminta warga nelayan untuk mau direlokasi ke lahan yang telah
disediakan, supaya pembangunan PPP bisa berjalan.
“Kami pindahkan ini bukan untuk
menjauhkan nelayan dari area pelabuhan, tetapi justru untuk
mengembangkan pelabuhan sebagai mata pencaharian nelayan,” kata Rano.
Rano mengatakan, apabila warga tidak mau
direlokasi, maka pembangunan PPP akan semakin lama. Wagub juga meminta
kesadaran masyarakat untuk pindah, sebab jika tidak mau pindah justru
wargalah yang dirugikan.
“Karena semuanya untuk warga nelayan sendiri.
“Karena semuanya untuk warga nelayan sendiri.
PANDEGLANG-Sebanyak
31 rumah di Kampung Pesisir, Desa Sidamukti, Kecamatan Sukaresmi,
Kabupaten Pandeglang, hancur dihantam gelombang pasang, Minggu (11/3)
dini hari, sekira pukul 01.00 WIB.
Pantauan Radar Banten, Minggu (11/3) pukul 09.00 WIB, sejumlah warga
yang rumahnya hancur membersihkan puing-puing rumah. Mereka mengumpulkan
puing-puing itu untuk dapat digunakan lagi menambal rumah mereka.
Salah
satu warga Kampung Pesisir yang rumahnya hancur, Toyib (50), mengakui
tidak menyangka musibah gelombang pasang terjadi lantaran sebelumnya
tak ada tanda-tanda wilayah Sidamukti dilanda gelombang. Kata Toyib,
pada Minggu dini hari turun hujan deras ditambah angin kencang. “Saat
kejadian saya dan keluarga kaget, karena air laut tiba-tiba sudah
berada di samping rumah,” katanya.
Lantaran panik, Toyib dan
keluarganya memutuskan keluar rumah dan tidak sempat mengamankan
barang-barang berharga yang berada di dalam rumah. “Pada waktu itu saya
berlari keluar mencari tempat yang aman,” ungkapnya.
Ia mengungkapkan, saat kejadian, tinggi gelombang di perairan Sukaresmi mencapai lima meter. “Kita berhamburan keluar takut terjadi tsunami,” kenangnya.
Senada dikatakan warga Kampung Pesisir lainnya yakni Amsar (80). Kata dia, mayoritas warga yang rumahnya hancur masih mengungsi di rumah saudara dan tetangga yang rumahnya selamat. “Kami balik ke rumah untuk membersihkan puing-puing, kami takut gelombang pasang kembali terjadi,” tuturnya.
Sementara korban lain, Warna (45), mengakui warga yang rumahnya hancur mengalami kerugian puluhan juta rupiah. “Kami belum bisa memastikan nominalnya, karena kami saat ini masih syok,” ungkapnya yang dimini para korban yang lain.
Ditemui di ruang kerjanya, Sekretaris Desa (Sekdes) Sidamukti Nendi Nasaroji menuturkan bahwa mayoritas warga yang menjadi korban gelombang pasang berprofesi sebagai nelayan. “Kami juga merasa kaget dengan musibah ini, karena ini merupakan yang peratama kalinya terjadi. Kalaupun ada gelombang pasang, biasanya tak sampai menghancurkan rumah,” tukasnya.
Kata Nendi, masih mendata korban. “Senin besok (12/3) insya Allah data korban plus jumlah kerugian akan kita sampaikan ke kecamatan dan Pemkab Pandeglang,” janjinya.
Camat Sukaresmi Enjan Sujana menegaskan telah menginformasikan kejadian kepada Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) dan Dinas Sosial (Dinsos) Kabupaten Pandeglang. “Informsinya baru sebatas lisan karena kita belum mendapat berita lebih detil dari aparat desa,” tuturnya.
Dihubungi secara terpisah, Kepala Dinas Sosial Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Dinsosnakertrans) Kabupaten Pandeglang Anwar Fauzan mengatakan, sudah menyiapkan bantuan berupa beras dan sembako untuk para korban. “Kita tahu informasi setelah di-SMS oleh Pak Camat,” tuturnya.
Soal bantuan peralatan rumah, Anwar mengaku akan berkoordinasi dengan Dinsos Banten dan Kementerian Sosial (Kemensos) agar mengucurkan program pengadaan rumah layak huni (RLH). “Insya Allah akan kita anggarkan pada perubahan APBD tahun 2012 nanti atau APBD tahun 2013 untuk membantu pengadaan rumah yang hancur akibat gelombang pasang,” janjinya.
Ia mengungkapkan, saat kejadian, tinggi gelombang di perairan Sukaresmi mencapai lima meter. “Kita berhamburan keluar takut terjadi tsunami,” kenangnya.
Senada dikatakan warga Kampung Pesisir lainnya yakni Amsar (80). Kata dia, mayoritas warga yang rumahnya hancur masih mengungsi di rumah saudara dan tetangga yang rumahnya selamat. “Kami balik ke rumah untuk membersihkan puing-puing, kami takut gelombang pasang kembali terjadi,” tuturnya.
Sementara korban lain, Warna (45), mengakui warga yang rumahnya hancur mengalami kerugian puluhan juta rupiah. “Kami belum bisa memastikan nominalnya, karena kami saat ini masih syok,” ungkapnya yang dimini para korban yang lain.
Ditemui di ruang kerjanya, Sekretaris Desa (Sekdes) Sidamukti Nendi Nasaroji menuturkan bahwa mayoritas warga yang menjadi korban gelombang pasang berprofesi sebagai nelayan. “Kami juga merasa kaget dengan musibah ini, karena ini merupakan yang peratama kalinya terjadi. Kalaupun ada gelombang pasang, biasanya tak sampai menghancurkan rumah,” tukasnya.
Kata Nendi, masih mendata korban. “Senin besok (12/3) insya Allah data korban plus jumlah kerugian akan kita sampaikan ke kecamatan dan Pemkab Pandeglang,” janjinya.
Camat Sukaresmi Enjan Sujana menegaskan telah menginformasikan kejadian kepada Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) dan Dinas Sosial (Dinsos) Kabupaten Pandeglang. “Informsinya baru sebatas lisan karena kita belum mendapat berita lebih detil dari aparat desa,” tuturnya.
Dihubungi secara terpisah, Kepala Dinas Sosial Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Dinsosnakertrans) Kabupaten Pandeglang Anwar Fauzan mengatakan, sudah menyiapkan bantuan berupa beras dan sembako untuk para korban. “Kita tahu informasi setelah di-SMS oleh Pak Camat,” tuturnya.
Soal bantuan peralatan rumah, Anwar mengaku akan berkoordinasi dengan Dinsos Banten dan Kementerian Sosial (Kemensos) agar mengucurkan program pengadaan rumah layak huni (RLH). “Insya Allah akan kita anggarkan pada perubahan APBD tahun 2012 nanti atau APBD tahun 2013 untuk membantu pengadaan rumah yang hancur akibat gelombang pasang,” janjinya.
Satu Nelayan Hilang
Sementara itu salah satu nelayan asal Kecamatan Panimbang yakni Budi (25) hingga kemarin sore belum ditemukan. Ia terpeleset dari kapal saat akan pulang melaut dari Pulau Popole (Kecamatan Panimbang) Minggu (11/3) sekira pukul 04.30 WIB. “Budi terpeleset dari kapal karena pada saat itu cuaca buruk melanda perairan Panimbang, Budi sempat berpegangan pada kayu kapal, namun karena ombak deras, ia akhirnya terbawa arus,” kata salah satu nelayan asal Panimbang, Anih (40), yang ditemui di Pantai Panimbang.
Kata Anih, para nelayan di Kecamatan Panimbang hingga pukul 12.00 WIB kemarin, masih mencari Budi. “Saat ini (Minggu sore, 11/3) kami menghentikan pencarian, karena terkendala cuaca buruk,” ungkapnya.
Kapolsek Panimbang AKP Suradi membenarkan bahwa salah satu nelayan asal Kecamatan Panimbang hilang akibat gelombang tinggi. Ia mengimbau kepada para nelayan saat cuaca buruk untuk tidak melaut. “Kami juga akan meminta bantuan Polair Panimbang untuk mencari Budi,” jelasnya. (mg-13/alt/ags)
Sementara itu salah satu nelayan asal Kecamatan Panimbang yakni Budi (25) hingga kemarin sore belum ditemukan. Ia terpeleset dari kapal saat akan pulang melaut dari Pulau Popole (Kecamatan Panimbang) Minggu (11/3) sekira pukul 04.30 WIB. “Budi terpeleset dari kapal karena pada saat itu cuaca buruk melanda perairan Panimbang, Budi sempat berpegangan pada kayu kapal, namun karena ombak deras, ia akhirnya terbawa arus,” kata salah satu nelayan asal Panimbang, Anih (40), yang ditemui di Pantai Panimbang.
Kata Anih, para nelayan di Kecamatan Panimbang hingga pukul 12.00 WIB kemarin, masih mencari Budi. “Saat ini (Minggu sore, 11/3) kami menghentikan pencarian, karena terkendala cuaca buruk,” ungkapnya.
Kapolsek Panimbang AKP Suradi membenarkan bahwa salah satu nelayan asal Kecamatan Panimbang hilang akibat gelombang tinggi. Ia mengimbau kepada para nelayan saat cuaca buruk untuk tidak melaut. “Kami juga akan meminta bantuan Polair Panimbang untuk mencari Budi,” jelasnya. (mg-13/alt/ags)
(sumber Rada Banten)
Langganan:
Postingan (Atom)
masukan kode shoutbox/buku tamu sobat di sini