1. Masa penjajahan Belanda hingga awal kemerdekaan
Periode 1850-1966 adalah periode
pelembagaan institusi-institusi yang menangani urusan masyarakat bagi pemapanan
penjajahan Belanda atas negeri Indonesia. Begitu pula halnya dengan
urusan-urusan masyarakat pantai yang menyandarkan kegiatan ekonomi pada bidang
kelautan. Pengembangan kelautan dimulai pada 1911 dengan dibentuknya Bugerlijk
Openbare Werken yang berubah menjadi Departemen Verkeer en Waterstaat pada
1931. Kurun waktu hingga kemerdekaan tercapai, merupakan fase pasang surut
pertumbuhan organisasi kelautan dalam struktur pemerintahan kolonial maupun
Republik Indonesia merdeka. Unit-unit warisan kolonial Belanda inilah yang
menjadi cikal bakal pembentukan kementerian yang mengelola aspek kelautan pada
masa sekarang.
Lembaga yang menangani
kegiatan-kegiatan perikanan semasa pemerintahan kolonial Belanda masih berada
dalam lingkup Departemen van Landbouw, Nijverheid en handel yang kemudian
berubah menjadi Departemen van Ekonomische Zaken. Kegiatan-kegiatan perikanan
masa itu digolongkan sebagai kegiatan pertanian. Meski demikian, terdapat suatu
organisasi khusus yang mengurusi kegiatan perikanan laut di bawah Departemen
van Ekonomische Zaken. Organisasi tersebut adalah Onderafdeling Zee Visserij
dari Afdeling Cooperatie en Binnenlandsche Handel. Sedangkan untuk menyediakan
kegiatan penelitian dan pengembangan perikanan laut terdapat suatu institut
penelitian pemerintah kolonial yang bernama Institut voor de Zee Visserij. Pada
masa ini juga telah ditetapkan UU Ordonansi tentang batas laut Hindia Belanda
melalui Territoriale Zee en Maritieme Kringen Ordonantie 1939, yang menetapkan
bahwa lebar laut wilayah Hindia Belanda ditetapkan pada masing-masing pulau
sampai sejauh 3 mil.
Semasa pendudukan Jepang 1942-1945,
Departemen van Ekonomische Zaken berubah nama menjadi Gunseikanbu Sangyogu.
Fungsi dan tugas departemen ini tidak berubah dari fungsinya di zaman kolonial.
Begitu pula halnya dengan lembaga penelitian dan pengembangan, meski berubah
nama menjadi Kaiyoo Gyogyo Kenkyuzo dan berpusat di Jakarta tidak mengalami
perubahan fungsi. Bahkan, UU tentang batas laut pun tidak mengalami perubahan.
Namun yang perlu dicatat justru adalah pada masa pendudukan Jepang ini terjadi
perluasan lembaga-lembaga perikanan pemerintah. Pada masa ini, di daerah-daerah
dibentuk jawatan penerangan perikanan yang disebut Suisan Shidozo. Di samping itu,
pada masa ini terjadi penyatuan perikanan darat dengan perikanan laut, walaupun
tetap dimasukkan dalam kegiatan pertanian.
2. Masa awal kemerdekaan sampai orde lama
Setelah proklamasi kemerdekaan
nasional, pada kabinet presidensial pertama, pemerintah membentuk Kementerian
Kemakmuran Rakyat dengan menterinya Mr. Syafruddin Prawiranegara. Pada
kementerian ini dibentuk Jawatan Perikanan yang mengurusi kegiatan-kegiatan
perikanan darat dan laut. Semenjak kabinet pertama terbentuk pada 2 September
1945 hingga terbentuknya kabinet parlementer ketiga pada 3 Juli 1947, Jawatan
Perikanan tetap berada di bawah Koordinator Pertanian, di samping Koordinator
Perdagangan dan Koordinator Perindustrian dalam Kementerian Kemakmuran Rakyat.
Meskipun kemudian Kementerian Kemakmuran Rakyat mengalami perubahan struktur
organisasi akibat agresi militer Belanda I dan II serta perpindahan ibukota
negara ke Yogyakarta, jawatan perikanan tetap menjadi subordinat pertanian.
Pada masa itu, tepatnya 1 Januari 1948, Kementerian Kemakmuran Rakyat mengalami
restrukturisasi dengan menghapus koordinator-koordinator. Sebagai gantinya,
ditunjuk lima pegawai tinggi di bawah menteri, yakni Pegawai Tinggi Urusan
Perdagangan, Urusan Pertanian dan Kehewanan, Urusan Perkebunan dan Kehutanan,
serta Urusan Pendidikan. Jawatan Perikanan menjadi bagian dari Urusan Pertanian
dan Kehewanan.
Pada masa pengakuan Kedaulatan RI 27
Desember 1949, Kementerian Kemakmuran Rakyat kemudian dipecah menjadi dua
kementerian, yaitu Kementerian Pertanian dan Kementerian Perdagangan dan
Perindustrian. Pada masa itulah Jawatan Perikanan masuk ke dalam Kementerian
Pertanian. Kementerian Pertanian pada 17 Maret 1951 mengalami perubahan
susunan, yakni penunjukan 3 koordinator yang menangani masalah Pertanian,
Perkebunan dan Kehewanan. Di bawah Koordinator Pertanian, dibentuk Jawatan
Pertanian Rakyat. Jawatan Perikanan pada masa itu telah berkembang menjadi
Jawatan Perikanan Laut, Kantor Perikanan Darat, Balai Penyelidikan Perikanan
Darat, dan Yayasan Perikanan Laut. Kesemua jawatan tersebut berada di bawah
Jawatan Pertanian Rakyat. Struktur ini tidak bertahan lama. Pada 9 April 1957,
susunan Kementrian Pertanian mengalami perubahan lagi dengan dibentuknya
Direktorat Perikanan dan di bawah direktorat tersebut jawatan-jawatan perikanan
dikoordinasikan.
Jatuh bangunnya kabinet semasa
pemerintahan parlementer mengakibatkan Presiden Soekarno menganggap bahwa
sistem parlementer tidak cocok dengan kepribadian bangsa Indonesia. Pada 5 Juli
1957, presiden mengeluarkan dekret untuk kembali pada UUD 1945. Istilah
kementerian pada masa sebelum dekrit berubah menjadi departemen dan posisi
istilah direktorat kembali menjadi jawatan. Pada 1962, terjadi penggabungan
Departemen Pertanian dan Departemen Agraria dan istilah direktorat digunakan
kembali. Pada masa kabinet presidensial paska dekret, Direktorat Perikanan
telah mengalami perkembangan menjadi beberapa jawatan, yakni Jawatan Perikanan
Darat, Perikanan Laut, Lembaga Penelitian Perikanan Laut, Lembaga Penelitian
Perikanan Darat, Lembaga Pendidikan Usaha Perikanan dan BPU Perikani.
Kondisi politik dan keamanan yang
belum stabil mengakibatkan pemerintah merombak kembali susunan kabinet dan
terbentuklah Kabinet Dwikora
pada 1964. Pada Kabinet Dwikora ini, Departemen Pertanian mengalami
dekonstruksi menjadi 5 buah departemen dan pada kabinet ini terbentuk
Departemen Perikanan Darat/Laut di bawah Kompartemen Pertanian dan Agraria.
Pembentukan Departemen Perikanan Darat/Laut merupakan respon pemerintah atas
hasil Musyawarah Nelayan I yang menghasilkan rekomendasi perlunya departemen
khusus yang menangani pemikiran dan pengurusan usaha meningkatkan pembangunan
perikanan. Melalui pembentukan Kabinet Dwikora yang Disempurnakan, Departemen
Perikanan Darat/Laut tidak lagi di bawah Kompartemen Pertanian dan Agraria
melainkan mengalami reposisi dan bernaung di bawah Kompartemen Maritim. Di
bawah Kompartemen baru, departemen tersebut mengalami perubahan nama menjadi
Departemen Perikanan dan Pengelolaan Kekayaan Laut. Keadaan ini tidak
berlangsung lama, pada 1965 terjadi pemberontakan Gerakan 30 September
dan Kabinet Dwikora diganti dengan Kabinet Ampera I pada 1966.
3. Masa Reformasi
Sejak era reformasi bergulir di
tengah percaturan politik Indonesia, sejak itu pula perubahan kehidupan
mendasar berkembang di hampir seluruh kehidupan berbangsa dan bernegara.
Seperti merebaknya beragam krisis yang melanda Negara Kesatuan Republik
Indonesia. Salah satunya adalah berkaitan dengan Orientasi Pembangunan. Di masa
Orde Baru, orientasi pembangunan masih terkonsentrasi pada wilayah daratan.[2]
Sektor kelautan dapat dikatakan
hampir tak tersentuh, meski kenyataannya sumber daya kelautan dan perikanan
yang dimiliki oleh Indonesia sangat beragam, baik jenis dan potensinya. Potensi
sumber daya tersebut terdiri dari sumber daya yang dapat diperbaharui, seperti
sumber daya perikanan, baik perikanan tangkap maupun budidaya laut dan pantai,
energi non konvensional dan energi serta sumber daya yang tidak dapat
diperbaharui seperti sumber daya minyak dan gas bumi dan berbagai jenis
mineral. Selain dua jenis sumber daya tersebut, juga terdapat berbagai macam
jasa lingkungan lautan yang dapat dikembangkan untuk pembangunan kelautan dan
perikanan seperti pariwisata bahari, industri maritim, jasa angkutan dan
sebagainya. Tentunya inilah yang mendasari Presiden Abdurrahman Wahid dengan Keputusan Presiden
No.355/M Tahun 1999 tanggal 26 Oktober 1999 dalam Kabinet Periode 1999-2004
mengangkat Ir.
Sarwono Kusumaatmaja sebagai Menteri Eksplorasi Laut.
Selanjutnya pengangkatan tersebut
diikuti dengan pembentukan Departemen Eksplorasi Laut (DEL) beserta rincian
tugas dan fungsinya melalui Keputusan Presiden Nomor 136 Tahun 1999 tanggal 10
November 1999 tentang Kedudukan, Tugas, Fungsi, Susunan Organisasi, dan Tata
Kerja Departemen. Ternyata penggunaan nomenklatur DEL tidak berlangsung lama
karena berdasarkan usulan DPR dan berbagai pihak, telah dilakukan perubahan
penyebutan dari Menteri Eksplorasi Laut menjadi Menteri Eksplorasi Laut dan
Perikanan berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 145 Tahun 1999 tanggal 1
Desember 1999. Perubahan ini ditindaklanjuti dengan penggantian nomenklatur DEL
menjadi Departemen Eksplorasi Laut dan Perikanan (DELP) melalui Keputusan Presiden
Nomor 147 Tahun 1999 tanggal 1 Desember 1999.
Dalam perkembangan selanjutnya,
telah terjadi perombakan susunan kabinet setelah Sidang Tahunan MPR tahun 2000,
dan terjadi perubahan nomenklatur DELP menjadi Departemen Kelautan dan
Perikanan (DKP) sesuai Keputusan Presiden Nomor 165 Tahun 2000 tanggal 23
November 2000 tentang Kedudukan, Tugas, Fungsi, Wewenang, Susunan Organisasi,
dan Tata Kerja Departemen.
Kemudian berubah menjadi Kementerian
Kelautan dan Perikanan sesuai dengan Peraturan Presiden No. 47 tahun 2009
tentang Pembentukan dan Organisasi Kementerian Negara, maka Nomenklatur
Departemen Kelautan dan Perikanan menjadi Kementerian Kelautan dan Perikanan,
sedangkan struktur organisasi pada Kementerian Kelautan dan Perikanan tidak
mengalami perubahan.
Struktur Organisasi
1. Saat berupa Departemen
Dalam rangka menindaklanjuti
Keputusan Presiden Nomor 165 Tahun 2000, pada November 2000 telah dilakukan
penyempurnaan organisasi DKP. Pada akhir tahun 2000, diterbitkan Keputusan
Presiden Nomor 177 Tahun 2000 tentang Susunan Organisasi dan Tugas Departemen,
di mana organisasi DKP yang baru menjadi:
- Menteri Kelautan dan Perikanan
- Sekretaris Jenderal
- Direktorat Jenderal Perikanan
Tangkap
- Direktorat Jenderal Perikanan
Budidaya
- Direktorat Jenderal
Pengendalian Sumberdaya Kelautan dan Perikanan
- Direktorat Jenderal Peningkatan
Kapasitas Kelembagaan dan Pemasaran
- Direktorat Jenderal Pesisir dan
Pulau-pulau Kecil
- Inspektorat Jenderal
- Badan Riset Kelautan dan
Perikanan
- Staf Ahli
2. Saat berstatus Kementerian
Sesuai dengan Peraturan Presiden
Nomor 9 Tahun 2005 tentang Kedudukan, Tugas, Fungsi, Susunan Organisasi dan
Tata Kerja Kementrian Negara Republik Indonesia, sebagaimana telah diubah
terakhir dengan Preaturan Presiden Nomor 94 Tahun 2006, maka struktur
organisasi KKP menjadi:
- Menteri Kelautan dan Perikanan
- Sekretaris Jenderal
- Inspektorat Jenderal
- Direktorat Jenderal Perikanan
Tangkap
- Direktorat Jenderal Perikanan
Budidaya
- Direktorat Jenderal Pengawasan
& Pengendalian Sumberdaya Kelautan dan Perikanan
- Direktorat Jenderal Pengolahan
dan Pemasaran Hasil Perikanan
- Direktorat Jenderal Kelautan,
Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil
- Badan Riset Kelautan dan
Perikanan
- Badan Pengembangan Sumberdaya
Manusia Kelautan dan Perikanan
- Staf Ahli
Alasan pembentukan kementerian
Tebentuknya Kementrian Kelautan dan
Perikanan pada dasarnya merupakan sebuah tantangan, sekaligus peluang bagi
pengembangan sektor kelautan dan perikanan Indonesia. Artinya, bagaimana KKP
ini menempatkan sektor kelautan dan perikanan sebagai salah satu sektor andalan
yang mampu mengantarkan Bangsa Indonesia keluar dari krisis ekonomi yang
berkepanjangan. Setidaknya ada beberapa alasan pokok yang mendasarinya:
- Pertama, Indonesia sebagai
negara kepulauan dengan jumlah pulau 17.508 dan garis pantai sepanjang
81.000 km tidak hanya sebagai negara kepulauan terbesar di dunia tetapi
juga menyimpan kekayaan sumberdaya alam laut yang besar dan belum
dimanfaatkan secara optimal.
- Kedua, selama beberapa
dasawarsa, orientasi pembangunan negara ini lebih mangarah ke darat,
mengakibatkan sumberdaya daratan terkuras. Oleh karena itu wajar jika
sumberdaya laut dan perikanan tumbuh ke depan.
- Ketiga, dikaitkan dengan laju
pertumbuhan penduduk serta meningkatnya kesadaran manusia terhadap arti
penting produk perikanan dan kelautan bagi kesehatan dan kecerdasan
manusia, sangat diyakini masih dapat meningkatkan produk perikanan dan
kelautan pada masa datang. Keempat, kawasan pesisir dan lautan yang
dinamis tidak hanya memiliki potensi sumberdaya, tetapi juga memiliki
potensi bagi pengembangan berbagai aktivitas pembangunan yang bersifat
ekstrasi seperti industri, pemukiman, konservasi dan lain sebagainya.