Sumber : Islamedia
Misi besar sebuah pernikahan itu
hakikatnya secara garis besar ada dua. Pertama, memperbanyak keturunan
atau regenerasi agar manusia secara besama-sama mampu mengelola bumi
sebagai nikmat besar yang diwariskan Allah SWT kepada manusia.
Kedua, misi pemeliharaan bumi dari
tangan-tangan kotor para kaum pendosa yang akan merusak warisanNya
tersebut. Karenanya, regenerasi yang diinginkan Alquran tidak hanya
berorientasi pada kuantitas, tetapi juga kualitas, yaitu lahirnya
generasi-generasi takwa.
Dalam pandangan masyarakat modern,
pernikahan dipandang tak lebih sebuah seremonial formal yang menandai
berakhirnya masa lajang seseorang. Atau lebih dari itu, pernikahan
dianggap sebagai institusi, dimana dua insan berlainan jenis dinyatakan
sah hidup bersama di dalamnya.
“Dijadikan indah pada (pandangan)
manusia kecintaan pada apa-apa yang diingini yaitu; wanita-wanita,
anak-anak, harta yang banyak dari jenis emas, perak, kuda pilihan,
binatang ternak, dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia. Dan
di sisi Allah lah tempat kembali yang baik (surga).“ (QS Ali Imron:
14).
Memang benar, siapa yang bisa menafikan
betapa indahnya pernikahan? Mendapatkan suami yang ganteng atau istri
yang cantik, pintar, serta berharta? Tentu ini menjadi dambaan setiap
manusia. Apalagi bila sebuah keluarga dikarunia Allah SWT keturunan yang
ganteng dan cantik pula serta mampu jadi orang terpandang pada masa
dewasanya. Pasti akan jadi kebanggaan setiap orang tua.
Tetapi jika hanya sebatas itu pemahaman
kita tentang misi pernikahan, tentu tidaklah sempurna. Sebab
dikhawatirkan institusi keluarga hanya berorientasi pada pemberdayaan
anggota keluarga sendiri tanpa peduli pada keadaan sosial masyarakat
sekelilingnya.
Antara satu keluarga dengan keluarga
lainnya tidak memiliki aksi dan misi bersama. Sebaliknya, mereka hidup
sendiri-sendiri, bahkan saling adu gengsi untuk bisa mempertontonkan
apa-apa yang bisa dibanggakan. Entah dari harta yang dimiliki, atau
keturunan.
Inilah kehidupan egoistik,
materialistik dan individualistik yang sangat mungkin lahir dari
paradigma pernikahan yang tidak sempurna. Hubungan antar anggota
masyarakat pun boleh jadi hanya basa-basi. Lewat klub-klub olahraga,
klub makan-siang, klub fitness, klub fans artis idola, arisan, dan lain
sebagainya yang kering dari misi sosial.
Kehangatan dan keakraban yang tulus pun
tidak tumbuh. Lantaran semua interaksi itu tidak didasari visi dan misi
untuk kebaikan bersama. Tapi tak lebih sekadar adu gengsi: pamer harta,
pangkat, kekuasaan dan jabatan.
Alquran tidak menafikan, pernikahan
adalah institusi robbani yang memang disediakan bagi dua insan berlainan
jenis untuk menyalurkan hasrat cinta dan kasih sayang antar sesama.
Agar rumah tangga yang dibentuk itu menjadi terminal yang aman dan
nyaman serta memberi ketenangan lahir-batin bagi seluruh anggota
keluarga (QS Ar Rum: 21). Tapi bukan semata-mata itu tujuan pernikahan.
Itu adalah misi antara dari tujuan hakiki yang harus dijalani.
Lebih dari itu, sebuah keluarga yang
akan dibangun haruslah dicita-citakan untuk tujuan yang lebih besar.
Sebagai pabrik yang akan memproduk generasi saleh dan shalehah. Agar
mereka menjadi pengelola dan sekaligus penjaga warisan Allah SWT, yakni
bumi yang amat luar biasa kandungan kekayaannya.
Itulah misi pertama dan utama bangunan
pernikahan. Tak pelak bila Allah SWT menyebut pernikahan sebagai
perjanjian agung (miitsaqon goliidzho) sebagaimana termaktub di dalam
Alquran surat An Nisaa ayat 21.
Sehingga pernikahan haruslah merupakan
jembatan pertama bagi para anggota keluarga mengenali lingkungan
sosialnya. Lalu berinteraksi dengan masyarakat lingkungannya, untuk
selanjutnya bekerjasama dalam kebaikan.
Antar keluarga di dalam sebuah
masyarakat, seharusnya memiliki misi yang sama untuk mencapai kebaikan
bersama. Karena itu, keluarga satu dengan lainnya di mana pun mereka
berdominisili, haruslah memiliki link-link yang kokoh dalam kerangka
menata kehidupan sosial masyarakat lingkungannya.
Sebagai konsekuensi dari adanya
kepentingan yang sama untuk mencapai kemashlatan bersama itu, maka
setiap penyimpangan yang dilakukan oleh anggota keluarga siapapun, semua
keluarga ikut bertanggungjawab mencarikan solusinya.
Agar keseimbangan dan keharmonisan
kehidupan sosial dapat terus dipelihara dan dipertahankan. Bila
kesadaran bersama ini tumbuh kokoh, sangat kecil kemungkinan timbul
disharmoni hubungan masyarakat.
Wajar bila Islam memandang, bahwa
keluarga adalah ibu peradaban. Darinya lahir masyarakat, budaya, dan
peradaban. Bagaimana wajah sosial, budaya, dan peradaban sebuah
komunitas atau bangsa, sesungguhnya merupakan cerminan pemahaman
masyarakat itu tentang keluarga.
Betapa sentral dan mendasarnya peran
sebuah keluarga, menjadi alasan kenapa Islam mengarahkan setiap
pemeluknya berhati-hati dalam mencari pasangan. Karena pernikahan bukan
sekadar pertemuan dua jasad, dua hati, dan dua pemikiran. Tapi
pernikahan hakikatnya, peristiwa berlangsungnya koalisi dua kekuatan
iman untuk mencapai cita-cita agung.
Karena itu Rasulullah SAW berpesan,
“Wanita itu dinikahi atas 4 hal. Karena hartanya, karena kecantikannya,
karena keturunannya, dan karena diennya. Maka ambillah wanita yang baik
diennya. Pasti engkau akan beruntung.”
Karena itu, pernikahan bukanlah sekadar
hiasan kosmetik kehidupan. Namun betapa agungnya misi yang diembannya.
Walau itu tentunya berat. Tapi sekali lagi, jangan takut menikah bagi
mereka yang belum menikah. Wallahu’alam
Tidak ada komentar:
Posting Komentar