Jakarta,
Beberapa penyakit yang ada di hewan diketahui bisa menyebabkan masalah
pada kesehatan manusia. Tapi penyakit yang ada di udang diketahui tidak
berbahaya bagi manusia.
"Penyakit di udang itu tidak mempengaruhi kesehatan manusia, tapi mempengaruhi kesejahteraan karena kalau udangnya mati penambak bisa tidak punya uang," ujar Sidrotun Naim, S.Si, M.Mar.ST, PhD disela-sela acara temu media dengan pemenang peneliti Indonesia yang raih penghargaan fellowship internasional UNESCO-L'Oreal di restoran Bunga Rampai, Selasa (3/4/2012).
Peneliti yang akrab disapa Naim ini menuturkan penyakit ini tidak berbahaya, kalau pun penyakit pada udang ini berbahaya bagi manusia maka masih butuh waktu hingga 100 tahun lagi atau lebih.
Dalam penelitiannya ini, Naim menggunakan teknik mikrobiologi untuk melakukan investigasi fungsi dan struktur virus IMNV (Infectious Myonecrosis Virus), yaitu suatu virus yang bisa melumpuhkan atau membunuh 70 persen populasi udang.
Saat ini hanya sedikit orang yang tahu tentang virus ini, sehingga masih sulit mengatasinya. Naim akhirnya memilih memfokuskan penelitiannya di Harvard Medical School, Boston, AS untuk mengetahui bagaimana virus ini menyerang udang, pola penyebarannya dan faktor eksternal yang terkait.
"Virus IMNV ini cara kerjanya mirip dengan Rotavirus yang banyak menyebabkan kematian pada balita. Tapi kalau virus itu kan spesifik, kalau menyerang manusia ya manusia kalau udang ya udang," ujar peneliti berusia 33 tahun ini.
Pada studi ini ia melakukan pengenalan polikultur udang dan ikan nila yang bisa meminimasi risiko penyakit pada udang, meminimalkan biaya pakan, memperbaiki pertumbuhan udang dan ikan nila serta menghasilkakn produk makanan laut berkualitas.
Diketahui kotoran yang dihasilkan ikan nila memiliki kandungan yang sama seperti pupuk NPK sehingga mengurangi biaya pakan, serta ada ikan yang bisa menghasilkan antibiotik sehingga mencegah penyakit di air.
"Yang dihasilkan dari penelitian ini bisa dibilang 'vaksin' karena udang itu enggak punya antibodi. Tapi didesain untuk menghambat atau memblok reseptor sehingga virus tidak bisa menempel atau tidak saling mengganggu," ibu dari 1 anak yang bernama Elhurr (6 tahun).
Naim menuturkan hasil dari studinya ini diharapkan bisa membantu meningkatkan kesejahteraan petambak di Indonesia dalam menemukan cara budidaya udang yang lebih baik.
Ketertarikan Naim untuk mempelajari penyakit pada udang muncul saat ia bekerja dalam program WWF Indonesia-Aceh sebagai konsultan program kelautan. Saat itu ia menemukan ahli dari berbagai bidang, tapi Indonesia sebagai penghasil udang terbesar di dunia namun ia tidak menemukan ahli patologi udang.
Akibatnya saat virus white spot syndrome yang mematikan menyerang udang, maka mata pencaharian petani udang di Indonesia pun lumpuh. Karena itu ia terdorong untuk membantu mencari solusi dan berkeinginan jadi ahli patologi udang pertama di Indonesia.
Keinginannya untuk belajar di luar negeri sudah ada ketika ia kecil. Dulu sang bapak suka mendengarkan radio luar negeri dan ia pun sering mendengarkan. Ketika mendengar suara di radio yang membacakan berita dari berbagai kota di luar negeri membuat ia berimajinasi.
"Jadi dari kecil saya memang sudah tertarik untuk belajar di luar negeri. Dulu cita-cita saya pengen jadi dokter manusia tapi nggak kesampaian sekarang jadi dokter udang saja," ungkap perempuan yang mendapatkan S2 sebagai Master of Marine Studies dari Unoversity of Queensland, Australia.
"Kalau kita berkomitmen maka segala sesuatu bisa jadi yang terbaik, dan mari
"Penyakit di udang itu tidak mempengaruhi kesehatan manusia, tapi mempengaruhi kesejahteraan karena kalau udangnya mati penambak bisa tidak punya uang," ujar Sidrotun Naim, S.Si, M.Mar.ST, PhD disela-sela acara temu media dengan pemenang peneliti Indonesia yang raih penghargaan fellowship internasional UNESCO-L'Oreal di restoran Bunga Rampai, Selasa (3/4/2012).
Peneliti yang akrab disapa Naim ini menuturkan penyakit ini tidak berbahaya, kalau pun penyakit pada udang ini berbahaya bagi manusia maka masih butuh waktu hingga 100 tahun lagi atau lebih.
Dalam penelitiannya ini, Naim menggunakan teknik mikrobiologi untuk melakukan investigasi fungsi dan struktur virus IMNV (Infectious Myonecrosis Virus), yaitu suatu virus yang bisa melumpuhkan atau membunuh 70 persen populasi udang.
Saat ini hanya sedikit orang yang tahu tentang virus ini, sehingga masih sulit mengatasinya. Naim akhirnya memilih memfokuskan penelitiannya di Harvard Medical School, Boston, AS untuk mengetahui bagaimana virus ini menyerang udang, pola penyebarannya dan faktor eksternal yang terkait.
"Virus IMNV ini cara kerjanya mirip dengan Rotavirus yang banyak menyebabkan kematian pada balita. Tapi kalau virus itu kan spesifik, kalau menyerang manusia ya manusia kalau udang ya udang," ujar peneliti berusia 33 tahun ini.
Pada studi ini ia melakukan pengenalan polikultur udang dan ikan nila yang bisa meminimasi risiko penyakit pada udang, meminimalkan biaya pakan, memperbaiki pertumbuhan udang dan ikan nila serta menghasilkakn produk makanan laut berkualitas.
Diketahui kotoran yang dihasilkan ikan nila memiliki kandungan yang sama seperti pupuk NPK sehingga mengurangi biaya pakan, serta ada ikan yang bisa menghasilkan antibiotik sehingga mencegah penyakit di air.
"Yang dihasilkan dari penelitian ini bisa dibilang 'vaksin' karena udang itu enggak punya antibodi. Tapi didesain untuk menghambat atau memblok reseptor sehingga virus tidak bisa menempel atau tidak saling mengganggu," ibu dari 1 anak yang bernama Elhurr (6 tahun).
Naim menuturkan hasil dari studinya ini diharapkan bisa membantu meningkatkan kesejahteraan petambak di Indonesia dalam menemukan cara budidaya udang yang lebih baik.
Ketertarikan Naim untuk mempelajari penyakit pada udang muncul saat ia bekerja dalam program WWF Indonesia-Aceh sebagai konsultan program kelautan. Saat itu ia menemukan ahli dari berbagai bidang, tapi Indonesia sebagai penghasil udang terbesar di dunia namun ia tidak menemukan ahli patologi udang.
Akibatnya saat virus white spot syndrome yang mematikan menyerang udang, maka mata pencaharian petani udang di Indonesia pun lumpuh. Karena itu ia terdorong untuk membantu mencari solusi dan berkeinginan jadi ahli patologi udang pertama di Indonesia.
Keinginannya untuk belajar di luar negeri sudah ada ketika ia kecil. Dulu sang bapak suka mendengarkan radio luar negeri dan ia pun sering mendengarkan. Ketika mendengar suara di radio yang membacakan berita dari berbagai kota di luar negeri membuat ia berimajinasi.
"Jadi dari kecil saya memang sudah tertarik untuk belajar di luar negeri. Dulu cita-cita saya pengen jadi dokter manusia tapi nggak kesampaian sekarang jadi dokter udang saja," ungkap perempuan yang mendapatkan S2 sebagai Master of Marine Studies dari Unoversity of Queensland, Australia.
"Kalau kita berkomitmen maka segala sesuatu bisa jadi yang terbaik, dan mari
Tidak ada komentar:
Posting Komentar