Apa yang
Anda inginkan terhadap keluarga Anda? Pasti tidak ada satupun suami atau istri
di dunia ini yang menginginkan keluarganya kacau, selalu bermasalah, dan
menjadi neraka dunia. Begitupun Anda. Anda pasti menginginkan keluarga yang
harmonis, hubungan suami istri yang romantis. Anda pasti menginginkan keluarga
yang sakinah mawaddah wa rahmah. Rumah tangga menjadi surga dunia, baiti
jannati.
Untuk menggapainya, Islam
mengajarkan kepada kita untuk membangun kehidupan keluarga dengan landasan
interaksi suami istri sebagai berikut:1. Keseimbangan (At-Tawazun)Allah SWT
memberlakukan hukum tawazun (kesimbangan) pada ciptaan-Nya. Kita akan
mendapati keseimbangan yang luar biasa pada alam ini. Matahari yang jaraknya
tepat menghasilkan keseimbangan suhu bumi. Adanya siang dan malam.
Bintang-bintang yang menghiasi langit dengan indahnya. Oksigen yang tepat bagi
pernafasan manusia. Dan sebagainya.Kamu sekali-kali tidak melihat pada ciptaan
Yang Maha Pemurah sesuatu yang tidak seimbang. Maka lihatlah berulang-ulang,
adakah kamu lihat sesuatu yang tidak seimbang? (QS. Al-Mulk : 3)
Dengan
keseimbangan ini kehidupan berjalan dengan baik. Sebaliknya, tatkala keseimbangan
ini hilang, yang terjadi adalah kerusakan dan kebinasaan. Seperti ketika
manusia merusak keseimbangan alam dan membuat tata lingkungan “baru”. Saat
hutan digunduli dan air-air dicemari. Banjir adalah salah satu dampak dari
ketidakseimbangan seperti ini.
Begitu
pula dalam kehidupan rumah tangga. Islam mengajarkan keseimbangan ini sebagai
salah satu prinsip yang harus diterapkan oleh suami istri.
Dan
para perempuan memiliki hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang
ma’ruf… (QS. Al-Baqarah : 228)
Menurut
Ath-Thabari, sebagian ulama saat menjelaskan ayat ini mengatakan, “Dan mereka
(para istri) mempunyai hak untuk ditemani dengan baik dan dipergauli secara
makruf oleh suami mereka. Sebagaimana mereka berkewajiban mentaati suami dalam
hal-hal yang telah diwajibkan Allah atas mereka.”
Sedangkan
Muhammad Abduh dalam Tafsir Al-Manar, menafsirkan ayat ini dengan mengatakan,
“Dan yang dimaksud dengan keseimbangan di sini bukanlah kesamaan wujud sesuatu
dan karakternya; tetapi yang dimaksud adalah bahwa hak-hak antara mereka itu
saling mengganti dan melengkapi. Tidak ada suatu pekerjaan yang dilakukan oleh
istri untuk suaminya melainkan sang suami juga harus melakukan suatu perbuatan
yang seimbang untuknya. Jika tidak seimbang dalam sifatnya, maka hendaklah
seimbang dalam jenisnya.”
Sikap
seimbang ini harus ada dalam kehidupan berumah tangga. Sebagaimana suami
memiliki kewajiban terhadap istri, istri juga memiliki kewajiban terhadap
suami. Jika suami ingin istrinya setia, demikian pula istri menginginkan
suaminya setia. Jika suami ingin dicintai oleh istrinya, istri juga ingin
dicintai sang suami. Jika suami senang istrinya berdandan rapi dan cantik,
istri juga senang suami berdandan rapi untuknya. Jika suami senang dilayani
istrinya, istri juga senang dilayani suaminya.
Jika
masing-masing istri dan suami menerapkan prinsip keseimbangan (tawazun) ini
tidak akan ada perasaan terbebani salah satunya melebihi yang lain. Beban dan
masalah yang dihadapi keluarga menjadi lebih ringan, dan perasaan cinta semakin
bertumbuh melihat pasangan terkasih telah melakukan yang terbaik baginya.
2.
Keadilan (Al-Adalah)
Keadilan
harus menjadi landasan dalam interaksi suami istri, karena hanya dengan sikap
itulah harmoni hubungan bisa dijaga dan dilestarikan. Bahkan lebih dari itu,
jika masing-masing suami dan istri dapat bersikap secara adil maka kebersatuan
mereka akan menghasilkan sebuah potensi besar yang sangat diperlukan untuk
melahirkan generasi penerus berkualitas.
Berlaku
adillah, karena adil itu lebih dekat kepada taqwa. Dan bertaqwalah kepada
Allah, sesungguhnya Allah maha mengetahui apa yang kamu kerjakan. (QS.
Al-maidah : 

Sikap
adil yang lebih cenderung pada taqwa itu harus dimiliki suami istri dalam
interaksi mereka. Sikap adil harus menghiasi kehidupan rumah tangga, dari
hal-hal kecil hingga persolan besar. Adalah tidak adil jika suami mencela
makanan yang dibuatkan istrinya, sementara ia sendiri tidak bisa memberi
bahan-bahan dan peralatan masak yang cukup. Adalah tidak adil jika suami
menuntut istri bersolek layaknya artis sewaktu di hadapannya, sementara suami
tidak memberi nafkah yang cukup untuk membeli kosmetik yang diperlukan.
Begitupun,
adalah tidak adil jika istri mencela suami karena kesalahan kecil sementara
kebaikan suami tidak pernah dipujinya. Adalah tidak adil jika istri tidak
pernah berterima kasih kepada suaminya yang bekerja keras sebulan penuh dan
menyerahkan gajinya, sementara saat ada hadiah kecil dari teman saja istri
tersebut mengucapkan terima kasih berkali-kali dan menyanjung-nyanjungnya.
Sikap
adil harus diawali dari pemahaman diri dan penerimaan. Suami/istri harus
memahami kewajibannya dulu dan menjalankannya. Tidak diawali dari menuntut
haknya. Sikap adil lebih mudah dilakukan suami istri jika ada rapat/suro
keluarga. Tentu jangan disamakan dengan rapat di kantor yang formal. Rapat/suro
keluarga bisa dilakukan dengan santai sambil minum teh bersama atau acara
santai lainnya.
3.
Cinta dan Kasih Sayang (Al-Mahabbah war Rahmah)
Cinta
dan kasih sayang merupakan hal yang sangat penting dalam interaksi suami istri.
Dan kehidupan rumah tangga harus dibangun di atas landasan ini. Meskipun ada
perbedaan tentang mahabbah dan rahmah. Bahwa mahabbah adalah cinta di kala
suami istri masih usia muda atau usia produktif dan rahmah adalah cinta saat mereka
sudah menjadi kakek-kakek dan nenek-nenek. Saat itu tidak ada hubungan suami
istri sebagaimana lazimnya saat mereka muda, tetapi kasih sayang tetap membuat
mereka bersatu dan saling mengasihi meskipun tidur saling membelakangi.
Dengan
cinta dan kasih sayang, seorang suami akan berusaha semaksimal mungkin
membahagiakan istrinya. Demikian pula istri akan membahagiakan suaminya. Cinta
dan kasih sayang dalam ikatan pernikahan harusnya menjadi cinta paling kuat dan
paling kokoh melebihi apapun antara dua orang. Rasulullah SAW bersabda:
Tidak
terlihat diantara dua orang yang saling mencintai melebihi pernikahan (HR.
Ibnu Majah)
Lalu
bagaimana jika pernikahan kita belum juga membuahkan cinta atau cinta di awal
pernikahan kini semakin tergerus dan nyaris tiada? Salah satu tips yang bisa
dilakukan adalah dengan mencari satu saja kelebihin istri/suami kita yang tidak
dimiliki orang lain. Kalau mencari yang sempurna (lebih dalam segala hal),
percayalah, kita tidak akan pernah mendapati satupun manusia seperti itu. Cari
satu saja kelebihannya dan fokuslah ke sana. Sudah saatnya kita mengabaikan
pepatah “rumput tetangga selalu lebih hijau.”
Tips
lainnya adalah dengan selalu mengingat kesetiaan dan pengorbanannya. Lihatlah
sisi lemah atau kekurangan kita lalu bersyukurlah karena Allah menjadikan
pasangan kita menerima apa adanya. Kenanglah saat kita sakit siapa yang
melayani dan menunggui kita. Ingatlah saat kita lemah siapa yang menguatkan
kita. Saat kita kedinginan, siapa yang menghangatkan jiwa kita. Atau bahkan, pandanglah
anak-anak kita, istri yang melahirkan mereka dengan resiko nyawa. Suami yang
giat bekerja demi masa depan mereka.
4.
Mendahulukan Kewajiban daripada Hak (Taqdiimu Ada-il Wajibaat ‘ala Thalabil
Huquuq)
Seringkali
problematika rumah tangga bermula dari ego suami/istri. Ia selalu menuntut
hak-haknya, tetapi tidak memperhatikan kewajibannya. Ia begitu tahu, secara
detail, apa-apa yang menjadi haknya, tapi kurang peduli dengan kewajibannya.
Interaksi
suami istri seharusnya dibangun di atas landasan yang benar: mendahulukan
kewajiban daripada hak. Karena itulah, buku Kewajiban Istri Kepada
Suami harus dibaca istri, bukan ditulis untuk dibaca suami. Sebaliknya,
buku Kewajiban Suami kepada Istri harus dibaca oleh suami, bukan
ditulis untuk dibaca istri.
Dicontohkan
dalam sebuah hadits yang diriwayatkan Imam Bukhari bagaimana Abu Darda sangat
konsen pada ibadah kepada Allah, sampai-sampai ia tidak berdandan, tidak
memperhatikan makan dan tidurnya. Saat Salman Al-Farisi bertamu dan mengetahui
hal ini, ia mendapat konfirmasi dari istri Abu Darda bahwa memang Abu Darda
tidak memiliki hajat pada dunia. Salman kemudian menasehati Abu Darda dengan
kalimat yang disetujui Rasulullah: Terhadap tuhanmu ada kewajiban yang harus
kau tunaikan, terhadap badanmu ada kewajiban yang harus kau tunaikan, terhadap
keluargamu ada kewajiban yang harus kau tunaikan. Maka berikan hak kepada orang
yang memiliki haknya.”
Maka…
sudahkah kita memenuhi kewajiban kita sebagai suami/sitri kepada pasangan
tercinta kita? Atau jangan-jangan kita malah tidak begitu tahu apa-apa
kewajiban kita? Semoga tidak.
Semoga
kita menjadi suami/istri yang baik, yang dengannya kita menempatkan diri pantas
mendapati istri kita juga baik. Semoga kita menjadi suami/istri yang adil dan
penuh cinta, dengannya kita sesungguhnya menyiapkan untuk pantas dikaruniai
Allah nikmat besar: istri/suami kita juga penuh cinta kepada kita.[]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar